Korupsi masih menjadi topik kemarahan masyarakat. Frustasi tumbuh seiring lemahnya pemberantasan korupsi ketika kasus besar seperti kasus Harvey Moise – yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun – dianggap tidak mencerminkan keadilan. Hukumannya hanya enam tahun.
Fenomena ini menyoroti sebuah paradoks yang meresahkan: para koruptor besar tampaknya tidak tersentuh, seperti setan yang sulit ditangkap, sementara para koruptor kecil mempunyai ilusi keberhasilan dalam memberantas korupsi. Mereka menjadi kambing hitam yang harus dijaga.
Fenomena ini mengungkapkan dua pola besar dan menonjol. Pertama, pejabat yang memiliki indikasi kuat terlibat korupsi sering kali berhasil bersembunyi di bawah naungan pemerintah dan menikmati hukuman karena kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan.
Kedua, oposisi politik seringkali menjadi sasaran kriminalisasi, dimana tuduhan korupsi digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik.
Dalam konteks ini, korupsi telah melampaui sekedar penyakit administratif dan telah menjadi alat strategis bagi elit untuk mempertahankan hegemoni kekuasaannya. Hal ini bukan hanya persoalan moral, namun merupakan ancaman serius terhadap landasan demokrasi.
Korupsi tidak berhenti pada dampak materiil saja, melainkan meluas hingga pembengkokan konstitusi, undang-undang, dan undang-undang.
Niccolò Machiavelli dengan tepat menunjukkan dalam wacananya bahwa keberhasilan penerapan konstitusi sangat bergantung pada tingkat korupsi di negara tersebut.
Semakin besar korupsinya, semakin lemah supremasi hukumnya. Persepsi ini sesuai dengan kenyataan di Indonesia, dimana korupsi materiil dan korupsi konstitusional saling mendukung.
Contoh terkini adalah UU Pajak. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang jelas memberikan keuntungan bagi Gibran Recbombing Raqqa.
Masyarakat menilai hal ini tidak hanya merupakan pelanggaran etika politik, namun juga merupakan bukti bahwa undang-undang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penguasa.
Jika konstitusi terus mudah diubah, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara akan terkikis.
Membengkokkan hukum bukan hanya soal ketaatan, tapi menggerogoti integritas yang mendasari legitimasi negara.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu ketidakstabilan sistem, dimana masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan membiarkan pelanggaran terjadi, sehingga menciptakan lingkaran setan korupsi yang sulit dihentikan.
Apalagi, korupsi yang menggerogoti konstitusi mencerminkan adanya perubahan nilai di kalangan elite politik. Hukum bukan lagi alat keadilan, tapi alat tawar menawar kekuasaan.
Prinsip supremasi hukum digantikan oleh supremasi kekerasan, dimana keputusan diambil untuk kepentingan politik jangka pendek.