JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Pemerintah diminta mengkaji ulang rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen, terutama menyasar sektor layanan pendidikan berstandar internasional atau berkualitas tinggi.
Novita Hardini, Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, menjelaskan pengenaan PPN sebesar 12 persen berpotensi membuat masyarakat enggan mencari alternatif layanan pendidikan yang berkualitas.
Kita harus berpikir jangka panjang, kata Novita dalam keterangannya kepada sp-globalindo.co.id, Rabu (12/12/2024).
Baca juga: Parents: Sekolah Swasta Sudah Mahal, Akankah PPN 12% Naik Lagi?
Menurut Novita, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan mempersulit masyarakat dalam mengakses layanan pendidikan berkualitas di Tanah Air.
Sebab, tidak semua anak yang belajar di sekolah bertaraf internasional berasal dari kalangan atas. Ada juga masyarakat yang bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah berkualitas.
“Tidak semua siswa di sekolah internasional berasal dari keluarga kaya. Banyak orang tua yang rela bekerja lebih banyak atau mengubah kebutuhan lain untuk memprioritaskan biaya pendidikan anaknya,” jelas Novita.
“Jika sekolah internasional dikenakan PPN 12 persen, maka beban itu akan dirasakan langsung oleh orang tua yang tidak semuanya berasal dari keluarga mampu,” lanjutnya.
Baca juga: Apakah PPN 12% akan Dibayarkan untuk Jasa Pendidikan? Inilah jawabannya.
Novita berpendapat, sekolah berkualitas internasional tetap harus menjadi alternatif bagi masyarakat, untuk mendorong anak-anaknya memahami struktur dan pola pikir yang berwawasan global.
“Sekolah internasional menjadi sarana bagi kita untuk dapat memahami struktur dan pola pikir yang berwawasan global. Terakhir, setiap lulusan memiliki akses mudah terhadap karir dan networking di seluruh dunia,” kata Novita.
Sementara itu, Anggota Fraksi DPRIPKS Lydia Hanifa Amalia menilai penerapan PPN 12 bidang pendidikan semakin menunjukkan inkonsistensi pemerintah.
“Intinya pada prinsipnya pendidikan itu nirlaba. Tapi kalau bicara pendidikan nirlaba, kita kadang konflik,” kata Lidia.
“Di bawah yayasan tidak ada pajak yang dibayarkan, padahal ternyata pelaksanaannya benar-benar komersial,” lanjutnya.
Baca juga: Sri Malayani Bandingkan PPN-RI dengan Negara Lain: Masih Relatif Rendah
Diakui Lidia, belum ada aturan rinci mengenai kategori sekolah internasional nirlaba atau komersial.
Namun mereka tidak setuju pajak yang dikenakan pada sekolah internasional mencapai 12 persen. Karena pendidikan merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat.
“Kalau kita lihat sekolah internasional pasti ada yang mampu, tapi ketika pajaknya ditetapkan 12 persen, kami juga menentang kenaikan PPN,” kata Hanifa.