sp-globalindo.co.id – Peneliti bidang penyakit dalam, Dr. Yanri W. Subronto, Ph.D., Sp.PD. mengatakan antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi antimikroba bisa menjadi pandemi baru.
“Sekarang bisa dikatakan resistensi antimikroba merupakan pandemi baru. Tidak semua orang menyadarinya,” kata Yanri dalam webinar jelang konferensi nasional Keluarga Alumni Universitas Gadja Mada (KAGAMA), Sabtu (11/2/2024).
Wakil Sekjen V PP KAGAMA mengatakan resistensi antimikroba dapat menjadi bencana di bidang kesehatan, lebih berbahaya dari Covid-19.
“Kemarin kita tahu bahwa Covid-19 datang dan kemudian berlalu. Namun pandemi saat ini, resistensi mikroba, bisa sangat berbahaya dan bisa menjadi bencana di bidang kesehatan jika kita tidak melakukan edukasi, advokasi dan bertindak sekarang,” kata Yanri. , yang juga merupakan anggota Akademi Peneliti Pemuda Indonesia. (ALMI).
Baca juga: Cegah Resistensi Antimikroba, Kemenkes Imbau Masyarakat Bijak Gunakan Antibiotik Apa Itu Resistensi Antimikroba?
Dekan Fakultas Farmasi UGM prof. Dr. Pak Satibi. menjelaskan bahwa resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah seiring waktu dan tidak lagi merespons obat (antibakteri, antivirus, antijamur, atau antiparasit).
“Hal ini mempersulit pengobatan infeksi dan meningkatkan risiko penularan penyakit, keparahan penyakit, dan kematian,” kata Satibi dalam konteks yang sama.
Pada tahun 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa resistensi antimikroba adalah salah satu dari 10 ancaman kesehatan global terbesar, bersama dengan polusi udara, perubahan iklim, dan demam berdarah.
“Saya pikir dampak AMR sangat besar baik secara ekonomi maupun kesehatan,” kata Satibi.
Hampir 1,3 juta kematian disebabkan langsung oleh bakteri AMR. Pada saat yang sama, satu dari lima kematian akibat AMR terjadi pada anak di bawah usia lima tahun.
Selain kematian dan kecacatan, resistensi antimikroba menimbulkan kerugian finansial yang signifikan.
Menurut laporan WHO, Bank Dunia memperkirakan bahwa AMR dapat menimbulkan biaya tambahan sebesar US$1 triliun (Rs 15,7 kuadriliun) pada tahun 2050 dan kerugian produk domestik bruto (PDB) sebesar US$1 triliun (Rs 15,7 kuadriliun) hingga US$3,4 triliun (53 ,5 kuadriliun rupee) per tahun pada tahun 2030.
“Hal ini patut menjadi perhatian kita semua,” ujar Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini yang juga menilai penemuan obat baru membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan resistensi antimikroba.
Baca Juga: Jutaan Orang Meninggal Karena Resistensi Antimikroba, Kemenkes dan WHO Luncurkan Strategi Apa Penyebab Resistensi Antimikroba?
Satibi mengatakan banyak faktor yang berkontribusi terhadap resistensi antimikroba, antara lain: Penggunaan antibiotik yang berlebihan Penggunaan antibiotik pada ternak Ketidakpatuhan terhadap pengobatan
“Saya kira kita semua tahu kaitannya dengan penggunaan antibiotik yang berlebihan. Para pemberi resep, dokter, dokter gigi, dan dokter hewan, apoteker, apoteker mempunyai tanggung jawab besar terhadap penggunaan antibiotik secara bijaksana (di masyarakat),” ujarnya.
Di bidang kesehatan manusia, antibiotik sering digunakan sebagai pengganti infrastruktur pengujian yang tidak memadai, pengobatan infeksi yang buruk, dan kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai, Satibi menekankan.
Antibiotik hewan sering digunakan sebagai pengganti kebersihan, diagnosis dan pengobatan berbasis bukti.
Ia juga menyoroti penggunaan antibiotik dalam jumlah kecil yang diberikan kepada hewan sehat untuk mempercepat pertumbuhan dan menambah berat badan.
Baca juga: Resistensi mikroba di ruang perawatan intensif penyebab kematian Dengarkan berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp sp-globalindo.co.id: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal WhatsApp.